Sabtu, 02 April 2011

pemikiran modern dalam islam

Pemikiran Muhammad Iqbal
Menurut Dr. Syed Zafrullah Hasan dalam pengantar buku Metafisika Iqbal yang ditulis oleh Dr. Ishrat Hasan Enver, Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang fundamental, yaitu intuisi, diri, dunia, dan Tuhan. Baginya, Iqbal sangat berpengaruh di India, bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam.
Namun yang diketahui dan difahami oleh masyarakat dunia dengan bukti berupa literatur-literatur yang beredar luas, Iqbal adalah seorang negarawan, filosof dan sastrawan. Hal ini tidak sepenuhnya keliru karena memang gerakan-gerakan dan karya-karyanya mencerminkan hal itu. Dan jika dikaji, pemikiran-pemikirannya yang fundamental (intuisi, diri, dunia, dan Tuhan) itulah yang menggerakkan dirinya untuk berperan di India pada khususnya dan di belahan dunia timur ataupun barat pada umumnya, baik sebagai negarawan maupun sebagai agamawan. Karena itulah ia disebut sebagai Tokoh Multidimensional.
Dengan latar belakang itu pula maka penulis akan memaparkan gagasan-gagasan Iqbal dalam dua hal, yaitu pemikirannya tentang politik dan tentang Islam.
1. Pemikiran Politik
Sepulangnya dari Eropa Iqbal terjun ke dunia politik, bahkan menjadi tulang punggung Partai Liga Muslim India. Ia terpilih menjadi anggota legislatif Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai Presiden Liga Muslim. Karir Iqbal semakin bersinar dan namanya pun semakin harum ketika dirinya diberi gelar ‘Sir’ oleh pemerintah Kerajaan Inggris di London atas usulan seorang wartawan Inggris yang aktif mengamati sepak terjang Iqbal di bidang intelektual dan politiknya. Gelar ini menunjukan pengakuan dari Kerajaan Inggris atas kemampuan intelektualitasnya dan memperkuat bargaining position politik perjuangan ummat Islam India pada saat itu. Ia juga dinobatkan sebagai Bapak Pakistan yang pada setiap tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan dengan sebutan Iqbal Day.
Pemikiran dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan Negara Islam ia tunjukkan sejak terpilih menjadi Presiden Liga Muslimin tahun 1930. Ia memandang bahwa tidaklah mungkin ummat Islam dapat bersatu dengan penuh persaudaraan dengan warga India yang memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya ia berfikir bahwa kaum muslimin harus membentuk Negara sendiri. Ide ini ia lontarkan ke berbagai pihak melalui Liga Muslim dan mendapatkan dukungan kuat dari seorang politikus muslim yang sangat berpengaruh, yaitu Muhammad Ali Jinnah (yang mengakui bahwa gagasan Negara Pakistan adalah dari Iqbal) , bahkan didukung pula oleh mayoritas Hindu yang saat itu sedang dalam posisi terdesak saat menghadapi front melawan Inggris. Bagi Iqbal, dunia Islam seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan Pakistan yang akan dibentuk menurutnya adalah salah satu republik itu.
Sebagai seorang negarawan yang matang, tentu pandangan-pandangannya terhadap ancaman luar juga sangat tajam. Bagi Iqbal, budaya Barat adalah budaya imperialisme, materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani. Karenanya ia sangat menentang pengaruh buruk budaya Barat. Dia yakin bahwa faktor terpenting bagi reformasi dalam diri manusia adalah jati dirinya. Dengan pemahamannya yang dilandasi di atas ajaran Islam itulah maka ia berjuang menumbuhkan rasa percaya diri terhadap ummat Islam dan identitas keislamannya. Ummat Islam tidak boleh merasa rendah diri menghadapi budaya Barat. Dengan cara itu kaum muslimin dapat melepaskan diri dari belenggu imperialis. Sejalan dengan hal itu, Muhammad Asad mengingatkan bahwa imitasi yang dilakukan ummat Islam kepada Barat baik secara personal maupun sosial dikarenakan hilangnya kepercayaan diri, maka pasti akan menghambat dan menghancurkan peradaban Islam.
Diantara paham Iqbal yang mampu ‘membangunkan’ kaum muslimin dari ‘tidurnya’ adalah “dinamisme Islam”, yaitu dorongannya terhadap ummat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah menciptakan, maka Iqbal menyeru kepada ummat Islam agar bangun dan menciptakan dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa seolah-olah orang kafir yang aktif kreatif ‘lebih baik’ dari pada muslim yang ‘suka tidur’.
Iqbal juga memiliki pandangan politik yang khas, yaitu gigih menentang nasionalisme yang mengedepankan sentimen etnis dan kesukuan (ras). Bagi dia, kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di lingkungan yang bebas dan jauh dari sentimen nasionalisme. M. Natsir menyebutkan bahwa dalam ceramahnya yang berjudul Structure of Islam, Iqbal menunjukkan asas-asas suatu negara dengan ungkapannya :
“Didalam agama Islam spiritual dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah yang terpisah, dan fitrah suatu perbuatan betapapun bersifat duniawi dalam kesannya ditentukan oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhir-akhirnya latar belakang ruhani yang tak kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan watak dan sifat amal perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana), atau duniawi, jika amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang tak terbatas. Dalam agama islam yang demikian itu adalah adalah seperti yang disebut orang "gereja" kalau dilihat dari satu sisi dan sebagai "negara" kalau dilihat dari sisi yang lain. Itulah maka tidak benar kalau gereja dan negara disebut sebagai dua faset atau dua belahan dari barang yang satu. Agama Islam adalah suatu realitet yang tak dapat dipecah-pecahkan seperti itu”.
Demikian tegasnya prinsip Iqbal, maka ia berpandangan bahwa dalam Islam politik dan agama tidaklah dapat dipisahkan, bahwa negara dan agama adalah dua keseluruhan yang tidak terpisah.
Dengan gerakan membangkitkan Khudi (pribadi; kepercayaan diri) inilah Iqbal dapat mendobrak semangat rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami dewasa ini. Ia kembalikan semangat yang dulu dapat dirasakan kejayaannya oleh ummat Islam. Ujung dari konsep kepercayaan diri inilah yang pada akhirnya membawa Pakistan merdeka dan ia disebut sebagai Bapak Pakistan.

2. Pemikirannya Tentang Landasan Islam
a. Pemikiran Tentang al-Qur’an
Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip Islam, Iqbal meyakini bahwa al-Qur’an adalah benar firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya “The Qur’an Is a book which emphazhise deed rather than idea” (al-Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran al-Qur’an dapat berkembang sesuai dengan perubahan jaman, dan pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, jika al-Qur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang dituntut untuk mengembangkannya. Dalam istilah fiqh hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal adalah sebagai prinsif gerak dalam struktur Islam. Disamping itu al-Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al-Qur’an tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya.
Iqbal juga mengeluh tentang ketidakmampuan masyarakat India dalam memahami al-Qur’an disebabkan tidak memahami bahasa arab dan telah salah mengimpor ide-ide India (Hindu) dan Yunani ke dalam Islam dan Al-Qur’an. Iqbal begitu terobsesi untuk menyadarkan ummat Islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun ummat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan legalitas kehidupan duniawi. Sedangkan kegagalan Kristen adalah dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan Negara, undang-undang dan organisasi disebabkan terlalu mementingkan segi ibadah ritual. Dalam kegagalan kedua agama tersebut, menurut Iqbal, al-Qur’an berada di tengah-tengah dan sama-sama mengajarkan keseimbangan kedua kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali. Inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.
Satu segi mengenai al-Qur'an yang patut dicatat adalah bahwa ia sangat menekankan pada aspek Hakikat yang bisa diamati. Tujuan al-Qur'an dalam pengamatan reflektif atas alam ini adalah untuk membangkitkan kesadaran pada manusia tentang alam yang dipandang sebagai sebuah symbol. Iqbal menyatakan hal ini seraya menyitir beberapa ayat, diantaranya: "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui". (QS. 30:22)
b. Pendapat tentang Al-Hadits
Iqbal memandang bahwa ummat Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap literatur hadits dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syaikh Waliyullah tentang hadits, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya, Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh ummat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk ummat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadits-hadits pada jamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadits daripada koleksi belaka.
c. Pandangannya Tentang Ijtihad
Menurut Iqbal, ijtihad adalah “Exert with view to form an independent judgment on legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang, baik hadits maupun al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (madzhâb). Sebagaimana mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu :
1. Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhâb-mazhâb saja.
2. Otoritas relative yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhâb.
3. Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terkait pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhâb.
Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl al-sunnah, tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhâb-mazhâb. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam suatu sistem hukum al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibat ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang . Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konsekuensinya, hukum Islam pun statis tidak berkembang selama beberapa abad.


Daftar pustaka

Ali, Mukti A, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1998, Cet. 3.

Azra, Azyumardi dan Syafii Maarif, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr sampai Natsir dan Qardhawi. Bandung: Mizan, 2003.

Enver, Ishrat Hasan, Metafisika Iqbal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, Cet. 1.

Saefuddin, Didin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, Jakarta: Grasindo, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar